Rabu, 13 November 2013
Resensi buku "Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam" (2)
1. Penghapusan Tujuh Kalimat di Piagam Jakarta (18 Agustus 1945)
Setelah membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang yang dipilih: yakni Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahr Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil mencapai satu kesepakatan antara para nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Dalam pidatonya pada 10 Juli dalam sidang paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menekankan betapa beratnya tugas panitia kecil sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat antara kedua kelompok anggota, dan kemudian dia menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai dalam panitia sembilan itu. Diantaranya adalah:
"Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampilah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Dari isi pembukaan tersebut, maka sangat besar warna Islam dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki. Jendral Dr. Abdul Haris Naution, pada peringatan 18 tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963, di dalam pidatonya yang berjudul "Pancasila Itu pun Pencerminan dan Hasil daripada Hikmah Piagam Jakarta,." antara lain menyatakan:
"Di antaranya, dari sekian banyak inisiatif pemimpin-pemimpin Indonesia itu dari golongan alim ulama islam telah menyampaikan surat inisiatif sebagai usul saran tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka nanti. Pada saat itu, surat-surat daripada alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam yang diterima di meja Djaa Hokokai berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar. Sehingga pada waktu Panitia Dokuritsu Zyunbi membawa tentang pembunuhan persiapan Undang-undang Dasar terlebih dahulu disusunnya suatu preambul (mukaddimah) dan preambul inilah yang pertama berwujud Piagam Jakarta. Maka bagaimana pun juga Piagam Jakarta itu banyak endapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat daripada alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam itu."
Namun, pada 11 Juli 1945, salah seorang anggota BPUPKI yang beragama Protestan, Latuharhari, menyatakan keberatan dengan tujuh kalimat "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Akan tetapi ketika UUD ini diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan kalimat tersebut dihapuskan melalui tangan pemimpin dikantor sekuler Soekarno yang kemudian diangkat menjadi Presiden RI yang pertama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar